Asal Usul Alat Musik Kelentangan Banyuasin


Alat musik tradisional Kelentangan, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1960-an oleh Gede Mat Yasin, seorang warga Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Banyuasin III, memiliki asal usul yang unik. Penemuan ini terjadi secara kebetulan ketika Gede Mat Yasin sedang beristirahat di kebunnya. Ketika beristirahat, ia memutuskan untuk mengambil beberapa potongan kayu mahang yang ada di dekat pondoknya dan mulai memukul-mukuli kayu-kayu tersebut. Kejadian tak terduga ini menghasilkan suara yang memukau, terutama saat kayu mahang yang sudah kering diletakkan di antara dua potongan batang pisang, menciptakan nada yang indah yang tidak kalah dengan alat musik modern.

Menurut Sarkoni, yang menjabat sebagai Ketua Kesenian Musik Tradisional Kelentangan di Tanjung Beringin, Kabupaten Banyuasin, pada tahun 1960-an, Kelentangan Banyuasin hanya dimainkan saat para petani beristirahat menunggu hasil panen dan mencoba meredakan kelelahan akibat kerja keras mereka di kebun. Saat itu, alat musik ini masih terbatas pada penggunaan di kebun dan dianggap sebagai hiburan ringan.

Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, alat musik Kelentangan mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam masyarakat Desa Tanjung Beringin. Musik Kelentangan kemudian menjadi bagian penting dalam upaya melestarikan tradisi lokal dan dihargai sebagai komponen integral dari budaya desa mereka.

Perkembangan alat musik Kelentangan tidak berhenti di situ. Selanjutnya, alat musik ini mulai digunakan dalam berbagai konteks budaya, tidak hanya terbatas pada kebun petani. Salah satu penggunaan yang paling mencolok adalah dalam berbagai persiapan pernikahan di berbagai kampung. Peran Kelentangan dalam pernikahan menjadi sangat penting dalam budaya Banyuasin, menciptakan nuansa khas dan meriah dalam perayaan penting ini.

Selain menjadi bagian dari perayaan pernikahan, Kelentangan Banyuasin juga digunakan dalam berbagai upacara adat dan budaya lainnya. Musik Kelentangan menjadi salah satu elemen penting dalam menyambut tamu kehormatan dan telah menjadi perwakilan budaya Indonesia di panggung internasional.

Pada saat pernikahan di Banyuasin, Kelentangan Banyuasin dimainkan secara berkelanjutan selama tujuh hari tujuh malam secara bergantian. Musik ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam prosesi persiapan pernikahan. Selama periode ini, ibu-ibu di komunitas sering sibuk membuat kue-kue yang akan disajikan dalam pernikahan.

Puncak dari permainan Kelentangan terjadi pada malam ketujuh, ketika mereka memainkan Lagu Dalu. Ini menjadi tanda bahwa pembuatan kue-kue pernikahan telah memasuki hari terakhir, dan pernikahan akan segera berlangsung. Di hari berikutnya, tim Musik Tradisional Kelentang Mahang juga memainkan musik mereka ketika pengantin pria dalam arak-arakan menuju rumah pengantin wanita, menciptakan momen yang sangat meriah dalam upacara pernikahan.

Ansambel Kelentangan Banyuasin biasanya terdiri dari lima alat musik, yaitu kelentangan kayu mahang, rebana, ketipung, gong, dan gong kecil (bonang). Alat musik utama yang mendominasi adalah kelentangan kayu mahang. Ini adalah alat musik yang memberikan identitas khusus bagi Kelentangan Banyuasin. Dalam kelompok ini, seorang pemain bertanggung jawab untuk menabuh kayu mahang, menciptakan suara karakteristik yang mengisi ruang dengan nada-nada yang indah dan khas (***)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama