Pantangan Tengkurap dan Angkat Kaki dalam Budaya Melayu Banyuasin


Di tengah kekayaan budaya Melayu yang tersebar di Nusantara, Orang Melayu Banyuasin (OMB) di Sumatera Selatan memiliki tradisi dan pantangan yang unik, salah satunya adalah larangan bagi anak untuk mengangkat kaki ketika tengkurap atau meniarap dengan alasan “nanti emak mati.” Pantangan ini bukan sekadar aturan sederhana, tetapi mencerminkan sistem nilai, kepercayaan, dan dinamika sosial yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Dari perspektif antropologi dan sosiologi, pantangan ini menawarkan jendela untuk memahami bagaimana budaya membentuk perilaku individu dan menjaga harmoni kolektif. Esai ini akan mengeksplorasi makna di balik pantangan tersebut, dengan mempertimbangkan aspek simbolisme, fungsi sosial, dan konteks historis.
Secara antropologis, pantangan ini dapat dilihat sebagai bagian dari sistem simbolisme yang melekat dalam budaya Melayu Banyuasin. Antropologi memandang manusia sebagai homo symbolicum, makhluk yang memberikan makna pada dunia melalui simbol. Posisi meniarap dengan kaki terangkat bisa diartikan sebagai gestur yang melawan norma kesopanan atau keseimbangan alamiah dalam pandangan tradisional. “Emak” dalam konteks ini bukan hanya ibu biologis, tetapi juga simbol kehidupan, keluarga, dan stabilitas komunitas. Ancaman “mati” yang dikaitkan dengan pantangan tersebut menunjukkan betapa pentingnya menjaga harmoni antara anak dan figur maternal, yang dalam budaya Melayu sering dianggap sebagai pusat kehidupan rumah tangga.
Dari sudut pandang sosiologis, pantangan ini berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial. Masyarakat Melayu Banyuasin, seperti banyak komunitas tradisional lainnya, mengandalkan aturan tak tertulis untuk mengatur perilaku anggota kelompok, terutama anak-anak yang sedang dalam proses sosialisasi. Larangan ini mengajarkan disiplin dan penghormatan terhadap otoritas keluarga, khususnya ibu, yang memiliki peran sentral dalam struktur keluarga Melayu. Dengan mengaitkan pelanggaran pantangan dengan konsekuensi ekstrem seperti kematian ibu, masyarakat menciptakan rasa takut yang efektif untuk memastikan kepatuhan, sekaligus memperkuat ikatan emosional dalam keluarga.
Pantangan ini juga mencerminkan hubungan antara manusia dan alam gaib, yang merupakan elemen penting dalam worldview masyarakat Melayu. Antropologi budaya menunjukkan bahwa banyak pantangan Melayu berakar pada kepercayaan animisme atau sinkretisme dengan ajaran Islam. Posisi meniarap dengan kaki terangkat mungkin dianggap membuka celah bagi gangguan makhluk halus atau ketidakseimbangan kosmik yang dapat membahayakan keluarga. Dalam hal ini, “emak mati” bisa jadi metafora untuk malapetaka yang lebih luas, bukan hanya kematian fisik, tetapi juga kehancuran tatanan sosial yang diwakili oleh figur ibu.
Secara sosiologis, pantangan ini memperlihatkan bagaimana gender dan hierarki usia diatur dalam masyarakat Melayu Banyuasin. Ibu, sebagai simbol kehidupan dan pengasuhan, ditempatkan pada posisi yang sakral, sementara anak-anak diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk dan belajar. Larangan ini menggarisbawahi pentingnya peran ibu dalam reproduksi sosial—bukan hanya melahirkan, tetapi juga mendidik generasi berikutnya. Dengan demikian, pantangan tersebut tidak hanya melindungi ibu secara simbolis, tetapi juga memastikan kelangsungan nilai-nilai budaya melalui proses pendidikan informal.
Konteks historis juga relevan untuk memahami asal-usul pantangan ini. Masyarakat Melayu Banyuasin hidup di wilayah rawa dan sungai yang menuntut adaptasi lingkungan yang ketat. Dalam lingkungan yang penuh risiko, seperti banjir atau penyakit, keluarga menjadi unit penting untuk bertahan hidup. Antropologi lingkungan menunjukkan bahwa pantangan sering kali muncul sebagai respons terhadap ketidakpastian alam. Larangan mengangkat kaki saat meniarap mungkin awalnya terkait dengan praktik menjaga tubuh tetap rendah dan stabil di lingkungan yang tidak aman, yang kemudian berkembang menjadi aturan moral dengan dimensi simbolis.
Dari perspektif antropologi evolusi, pantangan ini bisa dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi budaya. Dengan menanamkan rasa takut akan kematian ibu, masyarakat memastikan anak-anak tidak melakukan perilaku yang dianggap berisiko atau tidak sesuai dengan norma. Ini menunjukkan bagaimana budaya Melayu Banyuasin telah berevolusi untuk melindungi komunitasnya melalui pengendalian perilaku individu. Pantangan tersebut menjadi alat untuk mempertahankan solidaritas keluarga, yang merupakan fondasi dari masyarakat agraris seperti OMB.
Namun, di era modern, pantangan ini menghadapi tantangan. Sosiologi modern menyoroti bagaimana globalisasi dan urbanisasi mengikis tradisi lisan seperti ini. Generasi muda Melayu Banyuasin yang terpapar pendidikan formal dan budaya populer mungkin mulai mempertanyakan logika di balik larangan tersebut. “Nanti emak mati” bisa jadi terdengar seperti mitos usang bagi mereka yang lebih rasional dan individualistis. Proses ini mencerminkan konflik antara modernitas dan tradisi, di mana nilai-nilai lama harus bersaing dengan cara pandang baru.
Meski demikian, pantangan ini tetap memiliki nilai dalam konteks identitas budaya. Antropologi identitas menekankan bahwa tradisi, termasuk pantangan, adalah penanda yang membedakan satu kelompok dari kelompok lain. Bagi Orang Melayu Banyuasin, mempertahankan larangan seperti ini adalah cara untuk menegaskan ke-Melayu-an mereka di tengah arus perubahan sosial. Ini juga menjadi pengingat akan warisan leluhur yang menghubungkan mereka dengan masa lalu, sekaligus memberikan rasa kebersamaan dalam komunitas.
Pada akhirnya, pantangan “dilarang mengangkat kaki ketika meniarap, nanti emak mati” adalah cerminan kompleksitas budaya Melayu Banyuasin. Dari sudut pandang antropologis, ia mengungkap simbolisme, kepercayaan, dan adaptasi lingkungan yang membentuk cara pandang masyarakat. Dari sosiologis, ia menunjukkan mekanisme kontrol sosial, hierarki gender, dan dinamika keluarga yang menopang tatanan komunal. Meskipun tantangan modernitas terus mengintai, pantangan ini tetap menjadi bagian hidup yang mengingatkan kita akan kekuatan budaya dalam membentuk kehidupan manusia (***)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama