Mengapa Orang Tua Melarang Kita Makan Pisang Dempet?


Di kalangan Orang Melayu Banyuasin (OMB), Sumatra Selatan, larangan makan pisang dempet—dua buah pisang yang kulitnya saling melekat—merupakan salah satu pantangan yang masih dikenal, meski pengaruhnya mulai memudar di kalangan generasi muda. Pantangan ini bukan hanya sekadar larangan, tetapi juga membawa nilai-nilai budaya dan moral yang mendalam. Orang tua di OMB, sebagaimana di banyak komunitas Melayu lainnya, menggunakan larangan ini sebagai alat pendidikan untuk menanamkan sikap berbagi dan menghindari sifat serakah. Pisang dempet, dengan bentuknya yang unik, menjadi simbol untuk mengajarkan anak-anak bahwa kelebihan rezeki harus dibagi, bukan dinikmati sendiri.
Secara historis, budaya Melayu Banyuasin kaya dengan tradisi lisan yang diwariskan melalui cerita, pantun, dan pantangan. Larangan makan pisang dempet sering disertai dengan cerita mitos yang menarik perhatian anak-anak, seperti ancaman bahwa memakan pisang dempet bisa menyebabkan anak lahir kembar siam atau, khususnya bagi anak laki-laki, masalah pada organ reproduksi. Meskipun cerita ini terdengar menakutkan, tujuannya bukan untuk menakut-nakuti secara literal, melainkan untuk memastikan anak-anak patuh pada nilai-nilai yang diajarkan. Dalam konteks OMB, cerita ini sering diceritakan oleh nenek atau orang tua saat anak-anak berkumpul di beranda rumah, menikmati pisang hasil kebun.
Makna filosofis di balik larangan ini sangat relevan dengan nilai-nilai Melayu yang menekankan kebersamaan dan gotong royong. Di Banyuasin, masyarakat agraris yang hidup dari hasil kebun dan sawah memandang rezeki sebagai anugerah yang harus dibagi. Pisang dempet, yang secara visual tampak seperti “kelebihan” karena dua buah menempel, menjadi metafora untuk mengajarkan bahwa jika seseorang memiliki lebih, ia harus berbagi dengan tetangga atau saudara. Dalam budaya OMB, sikap dermawan ini tercermin dalam tradisi seperti kenduri atau bagi-bagi hasil panen, yang memperkuat ikatan sosial antarwarga.
Namun, mitos seputar pisang dempet tidak lepas dari hoaks yang berkembang, terutama di era media sosial. Beredar klaim bahwa makan pisang dempet saat hamil bisa menyebabkan bayi lahir kembar siam. Dalam komunitas OMB, cerita ini kadang masih dipercaya oleh generasi tua, meskipun tidak sepenuhnya diyakini secara serius. Penelitian ilmiah, seperti yang dilaporkan oleh Kompas.com, menegaskan bahwa kembar siam disebabkan oleh faktor biologis, yaitu kegagalan pemisahan embrio, dan tidak ada hubungan dengan konsumsi pisang. Di Banyuasin, di mana akses informasi ilmiah semakin meluas, generasi muda mulai mempertanyakan mitos ini, meski tetap menghormati tradisi.
Pantangan ini juga mencerminkan cara orang tua di OMB mendidik anak-anak melalui pendekatan simbolis. Dalam budaya Melayu, banyak pantangan yang digunakan untuk menyampaikan pesan moral tanpa perlu penjelasan panjang. Misalnya, larangan makan pisang dempet tidak hanya tentang pisang itu sendiri, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Anak-anak diajarkan bahwa tindakan serakah, seperti mengambil dua pisang yang menempel untuk diri sendiri, bertentangan dengan nilai kemurahan hati yang menjadi inti identitas Melayu Banyuasin. Pendekatan ini mirip dengan pantangan lain, seperti tidak boleh duduk di depan pintu agar tidak menghalangi rezeki.
Dalam konteks modern, larangan makan pisang dempet di OMB menghadapi tantangan dari perubahan sosial dan urbanisasi. Banyuasin, yang kini berkembang dengan perkebunan kelapa sawit dan aktivitas perdagangan, mulai dipengaruhi gaya hidup urban yang mengurangi pengaruh tradisi lisan. Generasi muda, terutama yang tinggal di kota seperti Pangkalan Balai, cenderung melihat pantangan ini sebagai cerita masa lalu. Namun, di desa-desa seperti di kecamatan Talang Kelapa atau Banyuasin III, larangan ini masih hidup, terutama di kalangan keluarga yang mempertahankan tradisi Melayu.
Meskipun demikian, nilai-nilai di balik larangan ini tetap relevan. Di OMB, tradisi berbagi masih terlihat dalam acara-acara komunal, seperti sedekah desa atau pembagian hasil kebun saat musim panen. Larangan makan pisang dempet bisa menjadi pengingat bagi generasi muda untuk terus menjunjung nilai solidaritas, bahkan di tengah modernisasi. Orang tua modern di Banyuasin dapat menggunakan pantangan ini sebagai cerita edukatif, menjelaskan makna berbagi sambil menyingkirkan mitos yang tidak berdasar, seperti ancaman kembar siam.
Secara ilmiah, pisang, termasuk pisang dempet, adalah makanan bergizi yang kaya akan vitamin B, C, dan mineral seperti kalium. Dalam budaya OMB, pisang juga memiliki nilai ekonomi karena merupakan salah satu hasil kebun yang umum. Ironisnya, meskipun pisang dempet tidak berbeda secara nutrisi dari pisang lain, pantangan ini membuatnya dianggap “istimewa” dalam konteks budaya. Hal ini menunjukkan bahwa larangan ini murni bersifat simbolis, bukan berdasarkan efek kesehatan.
Untuk menjaga warisan budaya ini, masyarakat OMB perlu menyeimbangkan antara pelestarian tradisi dan literasi ilmiah. Pemerintah daerah Banyuasin, melalui dinas budaya atau pendidikan, dapat mempromosikan nilai-nilai luhur pantangan ini dalam bentuk cerita atau kegiatan komunitas, sambil menjelaskan bahwa mitos seperti kembar siam adalah hoaks. Dengan cara ini, generasi muda dapat menghargai kearifan lokal tanpa terjebak dalam kepercayaan yang keliru.
Pada akhirnya, larangan makan pisang dempet di kalangan masyarakat Melayu Banyuasin adalah cerminan dari kekayaan budaya Melayu yang sarat makna. Meskipun mitosnya tidak lagi relevan secara ilmiah, nilai berbagi dan kepedulian sosial yang terkandung di dalamnya tetap menjadi pegangan penting. Di tengah perubahan zaman, pantangan ini mengingatkan kita bahwa tradisi, jika dipahami dengan bijak, dapat terus hidup sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang harmonis dan peduli.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama